Pada umumnya kegiatan ini mengundang banyak pertanyaan dari mereka yang
awam, antara lain: “Mengapa mendaki gunung”, “Apa yang mereka cari di
gunung?”, Mengapa para pendaki bersedia berjuang dan mengorbankan apa
yang dimilikinya hanya untuk dapat berdiri sejenak di puncak gunung?”
dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang hampir semuanya bernada
bingung dan merendahkan.
Sialnya,
mereka yang dengan penuh kegagahan telah berani memproklamirkan dirinya
sebagai pendaki gunung tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan
kepada mereka yang memiliki pertanyaan-pertanyaan diatas. Para pendaki
gunung sulit memberikan jawaban yang baku karena pendakian bukanlah
suatu usaha pencapaian materi, melainkan suatu usaha pencapaian
kebutuhan non materi yang hasilnya hanya dapat dirasakan perindividu
yang melakoninya. Setiap pendakian selalu diwarnai oleh pengalaman baru,
sehingga kepuasan yang dirasakan tidak hanya terpaku pada suatu sisi.
Diantara mereka yang bergiat dikegiatan ini, ada beberapa yang mencoba menjawab pertanyaan diatas. Goerge F Mallory,
seorang pendaki kondang dari Inggris yang kesal karena selalu ditanya
mengapa ia mendaki gunung menjawab: “Because it is there!” -Ia bersama
dengan seorang rekannya pada tahun 1924 hilang di puncak gunung Everest,
dalam usaha pencapaian puncak tertinggi didunia ini, pencapaian yang
menjadi cita-cita banyak pendaki didunia walaupun untuk mendapatkannya
mesti ditebus dengan nyawa sekalipun. Dari negeri yang indah inipun
tampil Soe Hok Gie memberikan jawaban: “Aku cinta
gunung karena aku mencintai keberanian hidup” -Keberanian yang akhirnya
tertelan batas kehidupan, Ia tewas karena menghisap gas beracun digunung
Semeru pada tanggal 16 Desember 1969. Alm. Norman Edwin,
sosok yang dianggap para juniornya sebagai guru dan pendaki yang
berprestasi dalam bukunya MENDAKI GUNUNG SEBUAH TANTANGAN PETUALANGAN
mencoba menjelaskan bahwa mendaki gunung adalah wujud dari rasa ingin
tahu yang ada pada jiwa manusia. Rasa ingin tahu inilah yang melahirkan
kebutuhan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan lain, seperti kebutuhan
akan pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi dan diakui oleh
masyarakat dan bangsanya. Sosok lain yang mencoba ikut memberikan
jawaban adalah Alm. Budi Laksmono, “Hidup ini harus
lebih dari sekadarnya”, katanya -Ia tewas dalam kegiatan arung jeram
disungai Alas, Aceh tanggal 25 Februari 1985.
Kemudian
apakah kematian mereka yang saya sebutkan diatas merupakan pertanda
bahwa mereka tidak mencintai hidup?, yang pasti mereka semua adalah
sosok manusia yang sangat mencintai hidup, sosok manusia yang selalu
mencari makna dan arti kehidupan. Mereka tewas dalam usaha untuk
memberikan arti lebih pada hidupnya, mereka berjuang dalam lingkup tanda
tanya besar, apa itu hidup? dan dimanakah batas-batas kehidupan?.
Petualangan adalah salah satu cara untuk mengetahui kemampuan diri dan
batas lain dari kehidupan yang sekarang kita jalani, dengan mengetahui
ini maka kita akan menghargai dengan tulus kehidupan yang telah
diberikan oleh Sang pencipta.
Untuk mengakhiri paragraph ini saya kutipkan kata-kata yang diucapkan oleh Reinhold Messner
- Pendaki tujuh puncak dunia dan orang pertama yang menyelesaikan
pendakian di area “death zone” (14 puncak yang memiliki ketinggian
diatas 8.000mdpl) pegunungan Himalaya. “Jangan bertanya mengapa kami
mendaki gunung, karena kami akan selalu memberikan jawaban yang berbeda
dan sulit dimengerti. Tapi datanglah kegunung dan temukan jawabannya
disana”.
Diantara banyaknya pertanyaan dan dugaan yang
sinis terhadap kegiatan ini, muncul pula anggapan dan usaha pengkultusan
terhadap mereka yang sukses didalam usaha pencapaian puncak gunung dan
bidang petualangan lainnya. Mereka dipuji karena dianggap mampu
melampaui batas-batas ketahanan manusia serta mengangkat harkat
bangsanya kedalam jajaran bangsa pionir. Contoh dari kasus ini adalah
pemberian gelar kerajaan Sir. kepada Edmund Hillary
(seorang warga selandia baru) oleh Ratu Inggris atas keberhasilannya
sebagai orang pertama yang menjejakkan kakinya dipuncak gunung Everest.
Kehormatan ini diraihnya karena Ia dianggap menaikkan citra
negara-negara persemakmuran karena prestasi yang diukirnya.
Benarkah
mereka yang berjulukan pendaki gunung adalah sosok tegar yang mampu
melewati batas-batas ketahanan manusia?, benarkah mereka memiliki
ketabahan dan keberanian yang tidak terbatas?. Peter Boardman
seorang pendaki yang berhasil mencapai puncak Everest tahun 1975
berkomentar: “Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi
kehidupan sehari-hari dibandingkan bahaya suatu pendakian. Dan
dibutuhkan lebih banyak ketabahan untuk bertahan hidup dikota dari pada
mendaki gunung yang tinggi”. Dr. Michael Stroud dan Sir. Ranulph Fiennes
yang telah memecahkan rekor menyeberangi Antartika dan mendaki
gunung-gunung disana dengan berjalan kaki tanpa bantuan anjing,
kendaraan salju maupun suplai makanan dari udara, ketika ditanya apakah
mereka ingin membuktikan kemampuan dirinya dengan melakukan ekspedisi
berani mati tersebut, menjawab: “Saya bukan orang yang tergila-gila
kepada kutub, tidak sama sekali!. Ekspedisi ini adalah mimpi buruk, tapi
kalau tidak ada masalah, tentu orang lain telah melakukannya”. Ucapan Dr. Michael Stroud ini kemudian disambung oleh Sir. Ranulph Fiennes: “Tidak ada daya tarik sama sekali berjalan kaki melintasi Antartika selain kepuasan telah melakukan sesuatu”.
Dari
komentar yang dilontark`n oleh mereka yang telah kadung jagoan dibidang
mendaki gunung dan bidang petualangan yang lainnya ini, dapat kita
simpulkan bahwa mereka yang bergiat dikegiatan ini bukanlah sosok yang
super kuat ataupun jauh dari sifat manusiawi, mereka adalah sosok
manusia sehari-hari yang memiliki rasa takut kala menghadapi bahaya dan
dapat menangis kala kesabaran mereka diuji. Mereka juga bukanlah orang
yang haus dengan pujian dan sanjungan, mereka tidak pernah mendaki
gunung dengan tujuan mendapatkan medali, mereka lakukan kegiatan ini
jauh dari sorak-sorai dan acungan jempol penonton. Kalaupun ada
penghargaan yang mereka dapatkan, yaitu bertambahnya percaya diri dan
rasa bahagia yang membekas yang dianugerahkan oleh alam karena telah
bersedia menjalani hidup suatu waktu dengan cara menyatu dalam harmoni
yang dikumandangkannya.
Diakhir tulisan ini saya hanya
dapat berharap agar mereka yang awam dengan kegiatan mendaki gunung
dapat lebih bijaksana didalam menilai kegiatan ini. Sedangkan bagi
mereka yang ingin menggeluti kegiatan ini, mohon mulailah dengan niat
yang tulus dan bijaksana, karena hanya dengan cara tersebutlah kita
dapat menikmati keindahan ciptaan Tuhan tersebut dan mengambil hikmat
dan nikmat dari apa yang telah kita lakukan. Dan bagi mereka yang telah
menggeluti kegiatan ini, mudah-mudahan berangkat dari sekedar mendaki
gunung kita nantinya akan menjadi sahabat alam yang setia, yang tentunya
tidak akan rela membiarkan alam ini dirusak oleh mereka yang
memandangnya hanya sekadar sebagai sumber penghidupan.
Ada
baiknya disini saya mengutip kalimat yang tertulis dalam catatan
perjalanan seorang engineer NASA yang hilang di dipegunungan Alpen. “Aku
percaya bahwa alam memiliki pelajaran dan dapat mengajar kita. Aku
percaya bahwa alam dengan segala keindahan serta hukum-hukumnya
merupakan sekolah terbaik bagi manusia. Karena itu seorang petualang
sejati hanya berjuang untuk menaklukkan dirinya sendiri”.
Akhir
kata saya berharap tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua. Dan bagi
rekan-rekan petualang yang telah membaktikan dirinya dengan setulus
hati, saya hanya dapat berucap, “Sampai jumpa dipetualangan yang maha besar, petualangan abadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar